05 Juli, 2008

Ibnu Ruysd :

Judul Buku : Ibnu Ruysd, Gerbang Pencerahan Timur dan Barat.
Penulis : Muhammad Arkoun, Hasan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zayd,
Muhammad ‘Abid al-Jabiri, ‘Athif ‘Iraqi, Robith Qoshidi,
Ahmad Ginandjar Sya’ban.

Penyunting : Zuhairi Misrawi
Cetakan : Pertama, Juni 2007.
Penerbit : P3M
Halaman : 300 halaman.

Ibnu Ruysd :
Gerbang Pencerahan Timur dan Barat


Festival Pemikiran Ibnu Ruysd kembali digelar. Bertempat di Surabaya (21 Juni) dan Jakarta (10 Juli), wahana menghidupkan kembali semangat pencerahan ini menghadirkan para pemikir Islam garda depan negeri ini. Mereka adalah Abdul Basith, Ihsan Ali Fauzi, Ulil Abshar-Abdalla, Zainun Kamal dan Zuhairi Misrawi.

Tujuan utama festival ini ingin menunjukkan bahwa kesadaran berpikir progresif sudah terjadi dan tersedia dalam tradisi klasik Islam. Dan Ibnu Ruysd adalah pionirnya. Baik di dunia Barat atau Timur, pemikiran Ibnu Ruysd mempunyai pengaruh besar misalnya terhadap revolusi Eropa. Tidak mengherankan apabila semakin banyak kalangan yang memberikan apresiasi tinggi kepadanya misalnya Goethe Institute. Lembaga yang bermarkas di Jerman ini setiap tahunnya menganugerahkan Ibnu Ruysd Award. Diantara tokoh muslim yang pernah menerima kehormatan ini adalah Muhammad Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Mahmud Amin al-‘Alim dan ‘Azmi Bisyarah.

Buku Ibnu Ruysd, Gerbang Pencerahan Timur dan Barat adalah salah satu kado persembahan dari festival ini. Layaknya gerbang, buku setebal 300 halaman ini adalah pintu masuk bagi kita dalam mengenal progresifitas pemikiran dari tokoh yang melahirkan banyak karya, diantaranya bidang filsafat, hukum, politik, matematika, astronomi, fisika, logika sampai kedokteran. Buku yang ditulis keroyokan oleh para “Ruysdian” ini juga ingin memberikan gambaran analitis dan refleksi historis terhadap pemikiran Ibnu Ruysd, mulai dari apresiasi, refleksi sekaligus sikap kritisnya (hal. 28).

Ibnu Ruysd sendiri lahir di Cordoba pada 1126 M. dan wafat di Maroko pada 1198 M. Di dunia Barat ia lebih dikenal dengan nama Averroes. Keluarganya mempunyai perhatian yang sangat besar terhadap ilmu pengetahuan. Ayah dan kakeknya pernah menjadi kepala pengadilan di Andalusia. Sejak kecil, Ia telah mempelajari al-Quran dan ilmu-ilmu keislaman seperti tafsir, hadis, fikih dan sastra Arab. Ia juga pernah menduduki jabatan sebagai qâdlî (hakim) di Sevilla dan qadlî al-qudlât (hakim agung) di Cordoba.

Karya-karya Ibnu Ruysd berserakan. Tidak kurang 50 judul buku dari berbagai dispilin ia wariskan. Ia adalah seorang komentator dan kritikus ulung. Dengan membagi paradigma pembahasannya dalam tiga kategori yaitu komentar, kritik dan pendapat, Ibnu Ruysd dengan cermat mendekonstruksi sekaligus merekonstruksi pemikiran Aristoteles, al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Bajjah bahkan al-Ghazali.

Beberapa karya penting Ibnu Ruysd adalah Kitâb Fash al-Maqâl fî Mâ Bain al-Syarî`ah wa al-Hikmah min al-Ittishâl, menguraikan keselarasan antara agama dan akal karena keduanya adalah anugerah Tuhan, Al-Kasyf ‘an Manâhij al-Adillah fî `Aqâid al-Millah, menjelaskan secara rinci masalah-masalah teologi, Tahâfut al-Tahâfut, berisi pembelaan dari tuduhan al-Ghazali dan Bidâyah al-Mujtahid, sebuah studi perbandingan hukum Islam yang mengemukakan pendapat-pendapat para imam mazhab. Di tanah air, pemikiran Ibnu Ruyd mulai bergeliat seiring dengan menjamurnya lembaga-lembaga penerjemahan.

Dalam kata pengantarnya, penyunting buku ini, Zuhairi Misrawi, mengklasifikasikan dengan baik seluruh isi buku. Ia menyebutkan, setidaknya terdapat empat hal dari pandangan-pandangan Ibnu Ruysd yang senantiasa menyegarkan dan mendewasakan wawasan keagamaan kita. Pertama, pluralisme dalam ijtihad. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pintu ijtihad banyak ditutup oleh kalangan Islam. Medan ijtihad juga dipersempit dari persoalan hukum hanya menjadi persoalan hukum syara’. Akibatnya, sikap taklid terhadap warisan hukum-hukum fikih yang telah terkodifikasi menjelma begitu saja menjadi wawasan sosial dan pandangan hidup. Sikap taklid tersebut juga berawal dari kaburnya pemahaman tentang apa yang disebut agama (al-din) dan pemikiran agama (al-fikr al-diny).

Melihat fenomena ini, Ibnu Ruysd mencoba membuka kembali batas-batas yang selama ini dikekang. Dengan bersandar bahwa pemikiran keagamaan bisa berkembang sesuai dengan perubahan ruang dan waktu, ia mengudar artefak-artefak hukum fikih dari pelbagai mazhab, menganalisanya dengan model pembacaan sosiologis-hermeneutis, menelisik akar perbedaan setiap mazhab dalam menggali dalil-dalil yang memproduk suatu hukum, kemudian menembus jantung hukum fikih itu sendiri, yaitu al-Quran dan sunnah (hal. 225).

Dari setiap ijtihad fikih, dua elemen penting menurut Ibnu Ruysd yang patut diperhatikan adalah obyektifikasi dan pertimbangan dimensi moral etiknya. Obyektifikasi hukum berujung kepada pluralisme pendapat karena fikih tidak lagi dihayati sebagai produk yang sakral, sementara pertimbangan etis berujung pada setiap hukum yang difatwakan berdasarkan pada kemaslahatan bersama (public interest).

Berkenaan dengan pendapat orang lain, Ibnu Ruysd adalah contoh yang sangat baik. Ia membuang jauh-jauh klaim kebenaran dalam setiap pendapat dan selalu mengajak yang lain untuk menempatkan pendapat sesuai dengan konteksnya (hal. 226). Berijtihad berarti meniscayakan untuk membuka kritik dan pembenahan karena kebenaran tidak pernah final. Kesalahan yang terjadi dalam proses pergulatan akal jauh lebih baik dari sekedar menerima kebenaran dengan tanpa proses apapun.

Kedua, Kebebasan berpikir dan tradisi kritik. Ibnu Ruysd adalah maskot kebangkitan filsafat dan rasionalisme Islam. Meskipun hidup dalam situasi kegelapan dan terpasungnya kebebasan berpikir, Ibnu Ruysd justru dengan lantang mengatakan bahwa rasionalisme dan filsafat sejajar dengan syariat (hal. 20). Dengan filsafat, manusia mampu menemukan keagungan Tuhan melalui olah cakrawala atas seluruh ciptaan-Nya.

Ibnu Ruysd menjadi orang yang pertama kali mengkaji, menganalisa, menjabarkan serta mengomentari filsafat Aristoteles yang terkenal rumit secara detail dan gamblang. Menurut Muhammad Arkoun, Ia berhasil menyeimbangkan akal dan iman (hal. 37). Di hadapan keluhuran tradisi keagamaan dan tradisi filsafat, pandangan Ibnu Ruysd telah mengenalkan kepada kita mentalitas dan nalar Abad pertengahan, baik dalam konteks Arab-Islam ataupun Latin-Yunani-Kristen. Nalar filsafat telah memainkan peran aktif dalam memelihara hak manusia untuk mengkritik dan bertanya.

Sebagai ilmu kritis, filsafat memang bagaikan anjing yang menggonggong, mengganggu dan menggigit (Franz Magnis-Suseno, 1984). Berfilsafat berarti selalu merasa tidak puas lantas membuka diri untuk menerima perdebatan dialektis. Berbeda dengan agama, filsafat selalu mempertanggungjawabkan setiap keputusannya secara rasional. Dan sejarah peradaban membuktikan, sebuah bangsa yang menjadikan filsafat sebagai bagian terpenting dalam proses pendewasaan bangsa, akan relatif lebih siap untuk maju di pelbagai sektor kehidupan.

Ketiga, Dialog antar agama. Ibnu Ruysd mengatakan perbedaan agama tidak menjadi penghalang untuk melakukan dialog. Apabila kita menemukan kebenaran dari agama lain, kita patut menerima dan menghormatinya. Sebaliknya, jika kita menemukan kesalahan maka kita patut memperingatkan dan memaafkannya (hal. 21). Memang, salah satu problem umat beragama adalah bagaimana berhubungan dengan umat agama lain. Dalam konteks Islam, fikih yang tersedia mempunyai dilemanya tersendiri sehingga baik secara eksplisit maupun implisit telah menebarkan kecurigaan terhadap agama lain.

Dialog antar umat agama sekarang ini semakin dirasa penting seiring meluasnya aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama. Kuatnya kesadaran agama dalam masyarakat dapat menjadi faktor pemersatu sekaligus mudah disalahgunakan sebagai alat pemecah belah. Sosiolog muslim, Ibnu Khaldun mengatakan, perasaan seagama memang diperlukan tetapi tidak cukup untuk menciptakan perasaan memiliki kesatuan sosial (social belonging). Untuk itu, setiap pemeluk agama perlu mengungkapkan pandangannya secara tepat serta mendengarkan pandangan mitra dialog secara terbuka tanpa disertai dengan penilaian apriori. Melalui dialog, setiap pemeluk agama belajar dari pandangan dan pengalaman satu sama lain, karena salah satu fungsi utama agama dalam konteks sosial tidak lain adalah memberikan rasa aman kepada sesamanya.

Faktor kekuasaan juga menjadi kunci dalam membangun dialog antar agama karena bagi Ibnu Ruysd melalui kebijakannya, penguasa mampu mengeksklusi kelompok agama tertentu (hal. 22). Milad Hanna (2005) mengingatkan, hubungan antar umat beragama selalu mengandaikan relasi kuasa yang tidak seimbang. Oleh karena itu, konsep menyongsong yang lain (qabulu al-akhar) yang lebih aktif, egaliter dan tidak sekedar bertenggang rasa sebagai bahasa baru dalam membangun toleransi dengan umat agama lain.

Keempat, Kontrol atas kebijakan publik. Menurut Ibnu Ruysd, Islam tidak mempunyai banyak pemikiran tentang filsafat politik, sementara sejarah perebutan kekuasaan amat dahsyat terjadi. Oleh karena itu, dengan mendasarkan diri pada filsafat politik Plato, Ibnu Ruysd menghendaki seorang pemimpin negara adalah juga seorang filsuf (hal. 24).

Konsep Raja Filsuf ini menghendaki seorang pemimpin mempunyai pandangan brilian, cerdas dan tegas terhadap kebijakan yang diambilnya (al-tsabat ‘ala al-ra’yi). Politik tidak lain adalah tata kelola masyarakat, dan karenanya, kepentingan yang harus didahulukan adalah kepentingan masyarakat. Elemen penting lain dari konsep Raja Filsuf adalah perkara keadilan. Baik Plato maupun Ibnu Ruysd sama-sama menekankan keadilan dalam arti mewujudkan keadaan dimana setiap orang memperoleh apa yang menjadi haknya dan setiap orang memperoleh bagian yang sama dari kekayaan bersama. Sementara keadilan sosial berarti keadilan yang pelaksanaannya dilakukan oleh struktur kekuasaan. Apapun bentuk negaranya, membangun keadilan sosial berarti menciptakan struktur yang memungkinkan pelaksanaan keadilan.

Bagi para agamawan, resep Ibnu Ruysd ketika menghadapi kekuasaan adalah berposisi sebagai pengontrol kebijakan negara. Mengambil sikap rasional dan obyektif terhadap setiap kebijakan penguasa adalah tanggung jawab publik para agamawan. Setiap fatwa keagamaan yang dikeluarkan dilandaskan kepada dua fondasi, yaitu pandangan otoritatif yang bersumber dari kitab suci dan perlunya mempertimbangkan kepentingan bersama sebagai pengejawantahan dari misi agama yang hendak mewujudkan keadilan sosial (hal. 25).

Pada akhirnya, adalah kerja peradaban memperkenalkan pemikiran Ibnu Rusyd. Dan buku ini adalah salah satu bentuk kerja itu. Agar Ibnu Ruysd, tidak dituduh oleh salah satu penulis buku ini, ‘Athif Iraqi, sebagai filsuf terakhir yang dimiliki Islam.

02 Juli, 2008

FILSAFAT FRAGMENTARIS

Judul : Filsafat Fragmentaris
Penulis : F. Budi Hardiman
Penerbit : KANISIUS, Deresan, Yogajakarta
Cet : ----------- 2007
Tebal : 222 hlm.
Harga : Rp. ,

Ketika manusia mulai mengabsolutkan pemikirannya dengan dalih kebenaran agama dan ideologinya, maka saat itu jalan kebenaran mulai menyempit, bahkan bisa tertutup. Buku ini memberikan peringatan kepada kita agar tidak terjatuh pada ranjau absolutisme yang potensial memunculkan kesombongan dan benturan antara kita. Untuk kontek Indonesia, buku ini sangat inspiring dan mencerahkan, bahwa untuk membangun masa depan Indonesia yang damai, dinamis, dan cerdas; sikap rendah hati dan cinta kebenaran harus ditumbuhkan sehingga kebhinekaan agama dan budaya akan memperkaya dan memperindah tradisi intlektual di Indonesia.

Di sisi lain, manusia sering mengklaim bahwa ia dapat mengetahui dan mendeskripsikan realitas sepenuhnya. Buku ini menunjukkan bahwa klaim itu adalah mustahil. Dengan filsafat macam apapun, manusia hanya bias mengetahui realitas secara episodis dan fragmentaris. Dalam arti ini, klaim manusia akan kebenaran juga berarti suatu kegagalan. Dengan cerdas dan kristis, buku ini mengajak kita menziarahi kegagalan-kegagalan tersebut. Justru di situlah terasa nikmatnya membaca buku ini: kita diajak untuk puas menerima kemanusian kita yang sesungguhnya juga hanya terdiri atas fragmen-fragmen yang tidak utuh juga.

Islam and The Challenge of Democracy

Judul : Islam dan Tantangan Demokrasi
Penulis : Prof. Khaled M. Abou El Fadl.
Penerbit : UFUK PRESS, Jakarta
Cet : Pertama, 2004
Tebal : 260 hlm.
Harga : Rp. ,


Dapatkah hak-hak individu dan kedaulatan rakyat dilandaskan pada keimanan? Dengan kata lain, apakah syari’at Islam selaras dengan demokrasi? Atau, setidaknya, dapatkah Islam – sebagaimana agama mayoritas di negeri ini – memberikan topangan budaya bagi perkembangan demokrasi? Bagaimana sebaiknya demokrasi dipahami oleh umat Islam, dan seperti apa pula para pendukung demokrasi pada tingkat global melihat praktik-praktik demokrasi di dunia Islam.

Buku ini merekam perbincangan amat kaya dan mendalam mengenai pelbagai persoalan yang meletupkan kontrofersi ini. Abou Fadl menegaskan bahwa demokrasi, terutama demokrasi konstitusional yang melindungi hak-hak dasar individu, adalah bentuk pemerintahan paling tepat untuk menegakkan nilai-nilai social dan politik yang sesuai dengan Islam. Secara gemilang, Abou Fadl juga mengungkap dialektika kedaulatan Tuhan dan kekhalifahan manusia. Baginya, syari’ah, sebagaian besar, tidak secara eksplisit didiktekan oleh Tuhan, melainkan mengandalkan tindakan interpretatis manusia sebagai subyek-pelaku untuk memproduksi dan melaksanakannya. Lebih menarik lagi, esai ini kemudian menuai aspirasi sekaligus kritik pedas dari 12 para pakar terkemuka internasional tentang demokrasi dan agama, semosal John L. Esposito, William B. Quandt, M.A. Muqtadir Khan, dll.

Pada paruh kedua buku ini, Khaled secara tajam mengupas pertautan Islam dan teologi kekuasaan, jihad melawan kekerasan, larisnya teologi intoleransi di dunia Muslim, dan bagaimana Islam menciptakan ruang pluralistic yang autentik.

Khaled Abou El Fadl di sebut-sebut sebagai “an enlightened paragon of Liberal Islam. Setelah menggeluti keislaman di Kuwait dan Mesir, ia belajar di Yale University dan Princeton University. Selain itu, beliau juga sebagai Profesor Hukum Islam UCLA, Amerika Serikat.

NUSANTARA – SEJARAH INDONESIA

Judul : NUSANTARA – SEJARAH INDONESIA
Penulis : Bernard H.M. Vlekke
Penerbit : Freedom Institute
Cet : Pertama, Februari 2001
Tebal : xi + 204 hlm.
Harga : Rp.
Pemesanan : pesanan@penerbit-kpg.com


Nusantara merupakan salah satu karya tentang sejarah Indonesia yang ditulis dengan perpektif komprehensif. Kurun waktu yang dibahas sejak zaman pra-kolonial sampai 1941. Buku ini dirancang sebagai sejaranh Indonesia dan bukan perluasan perusahaan dan koloni Belanda di lurar negeri, “tulis Vlekke, sang penulis, dalam prakatanya. Karena itu, sejarah Negara-negara dan pranata-pranata di Indonesia pra-kolonial mendapat porsi pembahasan lebih besar.
(D)
Uraiannya tentang sejarah Indonesia pra-kolonial itu sangat penting dan kaya ilustrasi. Tentang Majapahit, misalnya. Menurut Vlekke, kerajaan Majapahit runtuh bukan karena kerajaan Islam.

Vlekke juga punya penjelasan menarik tentang mengapa masyarakat Jawa berbondong-bondong masuk Islam, tapi pada saat yang sama begitu bersahabat dengan tradisi lokal (sinkretis). Para Raja Jawa, menurut Vlekke, mereka memilih Islam bukan karena mereka suka dengan agama itu, melainkan karena situasi politik mendorong mereka untuk bertindak demikian. Mereka dihadapkan pilihan sulit antara memilih bersekutu dengan Portugis atau bekerjasama dengan Johor dan Demak, yang berarti harus memilih Kristen dan Islam.

Membaca Nusantara seperti membaca dongeng karena karya ilustrasi. Inilah kelebihan lain karya ini dibandingkan buku sejarah tentang Indonesia.